Upah Minimum 2025
Oleh : Timboel Siregar
Kanalvisual.com - Jakarta - Saat ini sudah bulan Oktober dan mengacu pada Pasal 29 ayat (1) dan Pasal 35 ayat (2) PP no. 36 tahun 2021 seluruh Gubernur wajib menetapkan Upah Minimum Propinsi (UMP) paling lambat tanggal 21 Nopember dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) paling lambat tanggal 30 Nopember setiap tahunnya. Hanya tinggal beberapa minggu untuk menuju tanggal 21 Nopember 2024 dan tanggal 30 Nopember 2024.
Saat ini sudah ada pemberitaan tentang tuntutan kenaikan UMP/K 2025 di kisaran 8 – 10 persen yang diajukan KSPI. Dan permintaan ini terkait erat dengan kondisi ekonomi kita saat ini yang memang tidak baik-baik saja. Salah satunya tentang terjadinya deflasi yang terjadi secara beruntun di lima bulan terakhir ini.
Salah satu penyebab utama deflasi adalah penurunan permintaan agregat. Ketika konsumen dan bisnis mengurangi pengeluaran mereka, permintaan terhadap barang dan jasa menurun. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain penurunan pendapatan, peningkatan pengangguran, atau ketidakpastian ekonomi.
Secara normative mengacu pada Pasal 26 PP no. 51 Tahun 2023, kenaikan UMP/K menggunakan rumus : Inflasi Propinsi + (Pertumbuhan Ekonomi Propinsi x Indeks). Secara year on year (yoy) atau Oktober 2023 – September 2024 tingkat inflasi sebesar 1,84% dan secara tahun kalender ataupun year to date terjadi inflasi sebesar 0,74%.
Bila Tingkat inflasi propinsi berkisar rata-rata 1,84 persen dan rata-rata pertumbuhan ekonomi propinsi sekitar 5 persen maka kenaikan UMP/K 2025 tertinggi sebesar 3,34 persen (= 1,84 persen + (5 persen x 0,3)), dan terendah yaitu 2,34 persen (= 1,84 persen + (5 persen x 0,1)).
Dalam hal nilai UMP/K tahun berjalan pada wilayah tertentu melebihi rata-rata konsumsi rumah tangga dibagi rata-rata banyaknya anggota rumah tangga yang bekerja pada provinsi atau kabupatenf kota, nilai penyesuaian UMP/K dipastikan akan lebih rendah lagi karena perhitungannya tidak melibatkan nilai inflasi, yaitu Pertumbuhan Ekonomi Propinsi x indeks.
Menurut Saya, saat ini memang daya beli masyarakat menurun, dan terjadinya deflasi selama 5 bulan secara berturut-turut menjadi penguat argumentasi terjadinya penurunan daya beli tersebut. Dan tentang penurunan daya beli pekerja, sebenarnya dengan ketentuan Pasal 26 PP No. 36 Tahun 2021 yang sudah diubah di Pasal 26 PP No. 51 Tahun 2023, daya beli buruh memang sudah mengalami penurunan. Bila kenaikan UMP/K 2025 dengan rumus yang diatur di Pasal 26 PP No. 51 Tahun 2023 maka daya beli buruh akan terus menurun.
Untuk mengembalikan daya beli masyarakat, khususnya untuk daya beli pekerja, seharusnya Pemerintah memberikan perlakuan khusus terhadap kenaikan UMP/K 2025. Permintaan SP/SB agar kenaikan UMP/K di kisaran 8 – 10 persen cukup wajar.
Oleh karenanya, penting adanya kebijakan khusus dalam penetapan kenaikan UM 2025 oleh Gubernur (mayoritas akan dilakukan oleh PJ Gubernur) dengan menetapkan indeks sebesar 1 (satu) sehingga kenaikan UM 2025 bisa di atas 7 persen. Demikian juga tidak digunakan rumus kenaikan UM bagi wilayah dengan nilai UMP/K tahun berjalan yang melebihi rata-rata konsumsi rumah tangga dibagi rata-rata banyaknya anggota rumah tangga yang bekerja pada provinsi atau kabupatenf kota.
Tentunya kebijakan tersebut juga harus didukung dari sisi pembiayaan konsumsi, yaitu sebaiknya kenaikan PPN 1 persen di 2025 ditunda pelaksanaannya, termasuk tidak memberlakukan kebijakan baru seperti menaikan biaya transportasi KRL.
Dengan kenaikan UM yang cukup baik maka kualitas daya beli pekerja akan pulih, akan meningkatkan permintaan dan menyebabkan pergerakan barang dan jasa semakin meningkat. Dan hal tersebut akan mendukung margin keuntungan dunia usaha, serta akan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional maupun regional. Jakarta 15 Oktober 2024. (Red).